Notification

×

Iklan

Gambar_Langit

Iklan

Gambar_Langit

Terbentuknya Propinsi ALA Bagai Bola Salju

Wednesday, April 17, 2013 | 7:24 PM WIB Last Updated 2021-05-16T11:26:05Z
sb: antarafoto.com
Keinginan terhadap terbentuknya Propinsi Aceh Leuser Antara dari masyarakat yang berada di dataran tinggi Gayo, terus menggelinding seperti bola salju, gelindingan itu sedemikian kuatnya sehingga akan “menggilas” halangan apapun yang dilaluinya.
Berbeda ketika masa-masa awal wacana berdirinya Propinsi Aceh Leuser Antara, pandangan dan gagasan itu berkembang hanya diseputaran pemimpin masyarakat Gayo, baik itu pimpinan formal maupun Non Formal, namun sekarang ini wacana terhadap pemekaran propinsi baru, sudah menjadi diskusi harian dikalangan intelektual, birokrat dan masyarakat luas.

Perjuangan terbentuknya propinsi ALA tidak pernah berhenti, wacana ini sedikit berkurang dalam pemberitaan ketika tsunami menerjang Aceh,  dilanjutkan paska MoU Helsinki Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, antara pemerintah RI dan GAM. Wacana dan tuntutan terhadap pemekaran Propinsi ALA, saat ini semakin tidak terbendung, dan geliat itu semakin kuat setidaknya di indikasikan oleh beberapa sebab. 

Sejak terpilihnya zaini Abdullah sebagai gubernur NAD, Gubernur terpilih dengan berbagai dasar pemikiran tidak bersedia melatik Bupati Aceh Tengah dan Gayo Lues hamper sekitar 10 Bulan sejak ditetapkan oleh KPU dinyatakan menang dalam pilkada, Padahal pejabat bupati terpilih sudah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal ini mejadikan masyarakat kecewa, karena suara mereka sebagai pemilih diabaikan dalam waktu yang cukup lama, pemerintahan dan pembangunan tidak berjalan secara normal

Pada hari Jum’at 02 November 2012 telah terjadi pembahasan terhadap rancangan Qanun Wali Nanggroe ini, yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pembahasan ini diwarnai dengan adanya protes dari Masyarakat Gayo dan Komunitas lainnya yang di gagas oleh Mahasiswa yang berasal dari dataran tinggi Gayo. 

Secara umum, pembentukan Lembaga Wali Nanggroe ini, seperti membangun kerajaan baru yang memberikan kekuasaan seumur hidup, dan memberikan prioritas utama kepada keturunannya untuk menjadi penerusnya. Menurut komunitas dari dataran tinggi Gayo, hal seperti ini sudah tidak masanya, kalaupun harus dipaksakan, sudah semestinya memberi ruang yang egaliter bagi semua suku bangsa berdasarkan kemampuan, dedikasi, dan kompetensinya

Lahirnya Qanun (Perda) No.3/2013 tentang Bendera dan Lambang Provinsi Aceh yang disebut-sebut mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menambah polemik baru. Antara pendukung dan yang tidak mendukung, walaupun klaim dari pemerintah aceh mengatakan penolakan hanya dilakukan segelintir orang, namun fakta dilapangan berkata lain meminjam istilah seperti puncak gunung es. 

Jika keberadaan Lembaga Wali Nanggroe , bendera dan lambang aceh di bentuk dengan tujuan mempersatukan seluruh rakyat aceh, maka semua aspirasi harus mendapat tempat, tidak dimonopoli, apalagi hanya untuk memuluskan kepentingan kekuasaan, atau dahaga kekuasaan semata. Jika hal ini terus dipaksakan bukan mustahil akan terjadi keadaan yang kontradiktif, alih-alih persatuan, malah yang terjadi adalah potensi perpecahan, bahkan nyata perpecahan.

Sudah ada ketentuan desain logo dan lambang daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannnya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 Ayat 4 PP No.77/1997. Hal ini juga menjadi polemic tersendiri, karena DPRA bersikukuh mengacu kepada MOU Helsinki dan UUPA.

Harusnya semua pihak menyadari dan serius mencermati wacana pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan ABAS. Ide ini tidak main-main dan tidak akan pernah padam jika DPRA dan Pemerintahan Aceh tidak secara sungguh-sungguh mendudukan semua kepentingan dalam posisi yang setara.

Banyak pihak menyayangkan jika Qanun ini dipaksakan, dan dipastikan akan terus ada perlawanan yang semakin massif jika DPRA dan Pemerintahan Aceh tidak secara serius memperhatikan hal tersebut.

Semoga saja Pemerintahan NAD ke depan semakin aspiratif dan tidak memaksakan secara sepihak kehendak mereka, misalnya pada rancangan-rancangan Qanun sebelumnya ada wacana: Hak imunitas (kekebalan hukum), dan hak-hak istimewa lainnya. Kita masih ingat Sebelumnya, Raqan Wali Nanggroe sebelum kepemimpinan Zaini Abdullah,  ini ditolak oleh Gubernur Irwandi Yusuf karena khawatir bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh. Sekarang hal itu diulangi lagi dengan Qanun bendera dan lambang Aceh yang kemudian mendapat evaluasi serius dari pemeritah pusat.

Tampaknya DPRA dan pemerintah Aceh menyadari sepenuhnya potensi penolakan  sebagian masyarakat terhadap bendera dan lambang Aceh ini, namun karena semangat dan ingin memaksakan kehendak, menjadi terburu-buru tanpa mempertimbangkan banyak aspek dan hal seperti menjadi biasa, apapun yang dilakukan dengan nafsu pasti terburu-buru dan menyampingkan akal sehat. Selebihnya adalah tes kasus, jika kasus ini membawa hasil maka akan terus maju dengan ide dan gagasan-gagasan yang tidak populer lainnya.

Wacana dan perjuangan terbentuknya propinsi baru ini, terus menggelinding dan bergema di dataran tinggi Gayo, Tampak sekali masyarakat gayo semakin menyadari kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam menentukan arah kehidupan dan sejarahnya. Jika Aceh selama ini dikenal dan dicitrakan dengan penghasil gas dan minyak bumi, masyarakat gayo cukup percaya diri dengan kekayaan hasil bumi dan hasil alam yang melimpah dan mayoritas dari itu semua adalah yang terbaharukan.

Kesetabilan politik dan semua aspek di wilayah Aceh sangat bergantung kepada pemerintah Aceh, akankah terus memaksakan kehendak dengan resiko-resiko yang sebenarnya dapat diperhitungkan, atau membangun dialog yang positif dan konstruktif kepada semua kalangan. Karena bagaimanapun juga, Kebersamaan, persatuan, partisipasi, dan solidaritas akan bertumbuh jika diskriminasi di jauhkan dari kepentingan pribadi dan golongan./Wantra
Banner